Rabu, 29 Juni 2016

Buat buku akordeon mini yuk!





Terinspirasi dari lagu masa kanak-kanak 'Ambilkan Bulan, bu', saya iseng membuat buku akordeon mini sederhana.  Gaya visual buku mini ini saya ambil dari The House in the Night, buku anak pemenang The Caldecott Medal tahun 2009.  Beth Krommes, ilustrator buku ini dengan sangat indah menggambarkan cerita tentang malam dengan visualnya yang unik; hanya terdiri dari 3 warna yaitu hitam, putih dan kuning, dengan arsiran yang halus dan detail.



Pembuatan buku akordeon ini sangat mudah, dapat dilakukan bersama dengan anak-anak.
Berikut langkah-langkah pembuatannya:

1. Peralatan yang dibutuhkan: karton hitam, karton putih, kertas warna kuning/emas, karton bekas makanan/karton susu, art paper/kertas kado bermotif warna nuansa hitam, gunting, penggaris, lem UHU stick, double tape, art line pen 0.5



2. Gunting karton hitam seukuran 8 x 64 cm.  Lipat setiap 8 cm sehingga mendapatkan 8 halaman berukuran 8x8 cm.



3. Pada karton putih, buat kotak dengan ukuran yang sama yaitu 8x8 cm sebanyak 6 kotak untuk membuat sketsa gambar sederhana.



4. Gunting gambar pada karton putih dan atur susunan gambar pada karton hitam.  Untuk gambar bulan, buat lingkaran (bisa dari koin Rp 1000) di karton/kertas kuning dan gunting.

5. Tempel gambar-gambar tersebut di buku akordeon karton hitam. Sisakan halaman pertama dan terakhir dalam keadaan kosong, sehingga yang terisi gambar hanya 6 halaman.


6.  Hiasi gambar dengan artline pen



7. Membuat cover: gunting karton bekas makanan 9x9 cm, buat 2 buah. Tempelkan art paper nuansa hitam di satu sisi dan kertas kuning di sisi lainnya.  Lakukan pada kotak satunya, sehingga ada 2 cover untuk depan dan belakang.



8. Tempelkan halaman pertama di cover depan dengan double tape.  Lakukan juga untuk cover belakang.




Voila... buku mini akordeon sudah jadi.  Di bagian belakang halaman dapat diisi dengan teks lagu Ambilkan bulan bu dan buku mini dapat digunakan untuk mengajarkan lagu indah ini pada si kecil sebelum tidur.

Rabu, 15 Juni 2016

The Fantastic Flying books: sebuah film, sebuah buku, dan sebuah lukisan

         Pertama kali belajar melukis dengan cat minyak, guru lukis saya di The Studio@KL, menanyakan apa yang ingin saya lukis.  Terus terang saat itu saya tak punya ide.  Sebagai orang dewasa yang baru belajar melukis, saya sangat tidak kreatif.  Tidak ada sama sekali bayangan di kepala ingin melukis sesuatu dan tidak berani pula membayangkan akan ‘bisa’ melukis sesuatu. 
“Sebagai pemula, kamu bisa mencontoh dulu gambar yang sudah ada,”kata sang guru. 
Teringat ilustrasi-ilustrasi indah dalam koleksi buku anak-anak.  Aha! Saya pilih salah satu buku yang cukup menarik juga mudah untuk dilukis: The Fantastic Flying Books of Mr.MorrisLessmore.


Buku dengan judul yang panjang ini saya beli di toko buku Borders, Kuala Lumpur.  Selain gambar sampulnya yang menarik, saya tergelitik dengan catatan di sampul yang menyatakan bahwa cerita buku ini berasal dari film pendek yang menjadi nominasi Academy Award.  Penulis dan pembuat ilustrasi buku ini: William Edward Joyce selain penulis juga pembuat film animasi anak-anak.
The Fantastic Flying Books adalah sebuah cerita fantasi, sedikit surealis, tentang Tuan Morris yang sangat cinta pada cerita dan buku.  Setiap hari ia membaca dan menulis cerita kehidupannya.  Sampai suatu hari ketika hidupnya berantakan dan bukunya berserakan, ia berhenti menulis dan bingung akan hidupnya. Tuan Morris lalu bertemu dengan wanita yang terangkat oleh ratusan buku yang dapat terbang.  Wanita ini memberinya sebuah buku yang menjadi sahabat Tuan Morris.  Ia memberi semangat pada Tuan Morris untuk kembali membaca dan menulis…..sampai akhir hayatnya.
Saya memilih salah satu ilustrasi dalam buku ini yang menurut saya sangat bermakna.  Bahwa cerita-cerita dan buku-buku yang pernah kita baca akan selalu bersama kita dan membawa kita ke tempat yang indah dan tak terbayangkan.


Et voilaaa...memakan waktu 5x pertemuan (@ 3 jam) di studio lukis, mulai dari sketching memakai bantuan grid, belajar melukis latar belakang dengan cat minyak sampai melukis detail dengan akrilik.  Lukisan yang masih sangat pemula ini sempat dipajang dalam pameran bersama murid-murid lain di sebuah galeri kecil di KL.  Well, not bad for a beginner, huh?  So, buat Anda yang ingin belajar melukis, menggambar atau apapun yang berhubungan dengan kreatif visual, tidak ada salahnya mengambil inspirasi dari sebuah buku cerita anak-anak :-) 









Jumat, 03 Juni 2016

Sastra klasik untuk Anak?




 Beragam tema dan jenis buku-buku anak di negara maju dapat kita temui.  Saya mau membahas kali ini mengenai buku sastra yang dibuat formatnya menjadi buku anak dan remaja.  Tidak asing lagi jika kita menemui buku klasik karya sastrawan terkenal seperti William Shakespeare, Charles Dickens, Jules Verne,  di toko-toko buku seperti di Amerika dan negara-negara di Eropa.  Sejarah literasi yang panjang, industri buku yang maju dan pembaca yang melek sastra membuat karya-karya klasik tersebut merupakan cerita sehari-hari bagi masyarakat di sana.
Semasa saya masih SD, saya pertama kali mengenal cerita klasik lewat buku cerita bergambar Album Cerita Ternama yang selalu menyertakan teks “150/200/300 gambar dalam 2 warna” di sampulnya.  Dari koleksi seri buku itu saya berkenalan dengan karya-karya sastrawan dunia seperti Robert Louis Stevenson, Charles Dickens, Mark Twain, tak ketinggalan cerita klasik India.  Cerita karya sastrawan dunia tersebut bukanlah cerita yang dibuat untuk anak-anak.  Namun bukan hal yang aneh bahwa karya-karya mereka diceritakan/diadaptasi ulang ke dalam buku yang ditujukan untuk anak atau remaja. 
Bagaimana dengan karya sastra atau cerita-cerita klasik Indonesia? Indonesia sebenarnya merupakan negara yang kaya akan sastra dalam berbagai bentuk: puisi, prosa, hikayat, pantun, belum lagi sastra lisan. Yang saat ini banyak dibuat dalam bentuk buku anak adalah cerita rakyat, dongeng dan legenda.  Salah satu kendala menggali cerita-cerita itu adalah kesulitan untuk menemukan naskah sastra klasik.  Cerita rakyat atau dongeng yang kita kenal sekarang tak jarang merupakan dongeng turun temurun yang disebarkan secara lisan.
Bagaimana dengan sastra Indonesia abad 20? Apakah mungkin karya sastrawan angkatan Balai Pustaka, angkatan 45 atau 66 diadaptasi menjadi cerita yang cocok untuk anak/remaja? Tidak semua tentunya karya sastrawan modern Indonesia cocok untuk diadaptasi. Bukan hal yang mudah pula mengadaptasi cerita sastra tersebut karena diperlukan keahlian bukan hanya menulis cerita tetapi juga bagaimana mengambil esensi cerita itu yang sesuai untuk anak dan remaja.  
Memang ini menjadi pekerjaan yang sulit, namun menurut saya harus dilakukan untuk lebih mengenalkan karya-karya sastra Indonesia pada anak-anak Indonesia.  Lewat komik atau buku adaptasi dengan bahasa sederhana, sastra Indonesia menjadi semakin dikenal dan dicintai.  Nantinya setelah dewasa, pembaca anak-anak ini akan mencari sendiri buku asli dari karya sastrawan tersebut.
Mungkin ada yang tidak setuju dengan gagasan ini.  Ada yang menganggap bahwa novel sastra tersebut memeliki masalah dewasa yang tidak cocok untuk anak-anak.  Saya jadi teringat ketika saya kecil, saya sangat suka dengan cerita Charles Dickens, ‘Little Dorrit’ dan ‘David Copperfield’ yang jelas bukan cerita anak.  Namun saya tertarik pada alur ceritanya, tentang tokoh-tokoh dewasa dengan beragam karakter dan pada nasib mereka, saya berempati pada tokoh yang baik, saya sebal dengan tokoh yang jahat.  Saya tidak tahu apakah membaca cerita seperti ini ketika saya SD merupakan suatu hal yang berbahaya?
Yang pasti saya masih berharap tak lama lagi di toko buku akan saya temukan cerita bergambar atau komik Siti Noerbaja nya Marah Roesli,  Hulubalang raja/Katak hendak menjadi lembu nya Nur Sutan Iskandar, Padang Ilalang di belakang rumah/Langit dan Bumi sahabat kami nya NH Dini, dan karya sastrawan Indonesia lainnya.